menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang hukumnya
Orangyang sakit wajib melaksanakan semua kewajiban shalat tepat pada waktunya sesuai menurut kemampu-annya sebagaimana kita jelaskan di atas. Tidak boleh sengaja mengakhirkannya dari waktu yang semestinya. Dan jika termasuk orang yang kesulitan berwudhu dia boleh menjamak shalatnya seperti layaknya seorang musafir.
Salahsatu dari lima Rukun Islam adalah Shalat. Shalat ialah berhadap hati kepada Allah SWT sebagai ibadah, yang diwajibkan atas tiap-tiap orang Islam (shalat wajib) baik laki-laki maupun perempuan berupa perbuatan/perkataan dan berdasarkan atas syarat-syarat dan rukun tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam .
Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas." (HR. Muslim, no. 429) Walaupun demikian, memandang ke langit-langit saat shalat tidaklah membatalkan shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat. Memandang ke langit-langit menandakan tidak khusyuknya orang yang shalat.
Kitawajib segera melaksanakan shalat yang tertinggal karena tanpa udzur sebagai tekanan hukum. Mengurutkan dan mendahulukan shalat yang tertinggal dari shalat yang akan dilaksanakan, kecuali jika dikhawatirkan tertinggalnya shalat yang akan dilaksanakan. Dalam kondisi demikian shalat hadhirah wajib didahulukan.
Sebagianulama ada yang berpendapat bahwa rukun adalah perbuatan yang hukumnya wajib dilakukan dan menjadi bagian utuh dari rangkaian ibadah. Menurutnya syarat sah shalat itu adalah sesuatu yang berada di luar shalat yakni tidak termasuk dalam pekerjaan shalat, sebagaimana yang beliau jelaskan di dalam kutipan tulisannya yang dikemukakannya
Rencontre Femme Malgache A La Reunion. Oleh Badrul TamamAl-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabba semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para mengatur pandangan seseorang dalam shalatnya. Karena pandangan seseorang memiliki pengaruh dalam kekhusyuan. Sementara khusyu' merupakan salah satu unsur penting untuk diterimanya shalat. Bahkan nikmatnya ibadah teragung ini tak akan diraih kecuali dengan kekhusyu'an. Karenanya, Syariat mengatur hukum berkaitan dengan pandangan mata dalam shalat. Salah satunya adalah larangan melihat ke atas atau ke Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِى الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ"Hendaknya kaum-kaum yang mengarahkan pandangan mereka ke langit dalam shalat itu bertaubat atau pandangan mereka terebut tidak akan kembali kepada mereka." HR. Al-Bukhari MuslimTambahan dalam riwayat al-Bukhari,لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ"Hendaknya mereka berhenti dari hal itu atau akan disambar pandangan mereka."Imam al-Nawawi rahimahullah menguraikan tentang makna hadits di atas,فيه النهي الأكيد والوعيد الشديد في ذلك وقد نقل الإجماع في النهي عن ذلك"Dalam hadits ini terdapat larangan yang sangat dan ancaman yang keras atas perbuatan itu. Dan telah dinukil adanya ijma’ konsensus atas larangan hal tersebut." Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/152Al-Hafidz dalam Fath al-Baari –dalam menerangkan hadits ini- menukil perkataan Ibnu Baththal rahimahullah, "Mereka berijma' atas dibencinya mengangkat pandangan dalam shalat. Mereka berbeda pendapat di luar shalat dalam bedoa; Syuraih dan sekelompok ulama memakruhkannya, sedangkan mayoritas membolehkannya."Al-Qadhi 'Iyadh berkata Mengangkat pandangan ke langit dalam shalat adalah termasuk bentuk berpaling dari kiblat dan keluar dari bentuk shalat."Ibnu Hajar dalam Al-Zawajir min Iqtiraf al-Kaba-ir mengategorikannya sebagai bagian dosa-dosa jelaslah bahwa larangan ini mengandung makna tahrim, yakni diharamkannya perbuatan tersebut. Terlebih terdapat ancaman, akan dibutakan mata orang yang melakukannya. Sementara Ibnu Hazm berpendapat –tanpa diikuti yang lain-, shalatnya menjadi batal. Lihat Subulus Salam, Imam al-Shan'ani 2/32Mari kita jaga pandangan kita dalam shalat sehingga tepat mengarahkannya. karena pandangan kita mempengaruhi kekhusyu-an di dalamnya. Jangan mengarahkan kepada atas karena itu tindakan kurang beradab kepada Dzat yang disembah dan pastinya menyalahi sunnah. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/
Pertanyaan Apa kondisi-kondisi yang memungkinkan merubah arah kiblat? Teks Jawaban penanya ingin mengetahui kondisi yang gugur di dalamnya menghadap kiblat dalam shalat. Dan shalatnya sah tanpa menghadap kiblat. Diantara syarat sahnya shalat adalah menghadap kiblat, tidak sah shalat kecuali dengannya karena Allah Ta’ala memerintahkan dan mengulangi perintahnya dalam Qur’an Karim dimana Allah berfirman وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ البقرة/144 “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” QS. Al-baqarah 144 maksudnya arahnya. Dahulu Nabi sallallahu alaihi wa sallam pertama kali tiba di Madinah shalat menghadap ke Baitul Maqdis, sehingga Ka’bah dibelakang punggungnya dan Syam di arah wajahnya. Akan tetapi setelah itu, beliau mengharap agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyareatkan berlaianan dengan hal itu. Sehingga seringkali wajahnya menengadah ke langit menunggu Jibril menurunkan wahyu kepadanya agar menghadap ke Ka’bah sebagaimana firman Allah قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ البقرة/144 “Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” QS. Al-Baqara 144 Maka Allah memerintahkan menghadap wajahnya ke Masjidil Haram maksudnya arahnya, melainkan dikecualikan hal itu dalam tiga permasalahan Permasalahan pertama kalau tidak mampu seperti sakit dan wajahnya ke selain kiblat dan dia tidak mampu mengarahkan ke kiblat. Maka menghadap kiblat baginya gugur dalam kondisi seperti ini berdasarkan firman Ta’ala Bertakwalah kepada Allah semampu anda,” QS. At-Tagobun 16. Dan firman Ta’ala “Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.” QS. Al-Baqarah 286. Juga sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ رواه البخاري 7288 ومسلم 1337 “Kalau saya perintahkah kamu semua dengan suatu perintah, maka lakukan sesuai dengan kemampuan kamu semua.” HR. Bukhori, 7288 dan Muslim, 1337. Permasalahan kedua kalau dalam kondisi sangat ketakutan seperti seseorang lari dari musuh atau lari dari binatang buas atau lari dari banjir yang menenggelamkannya. Maka disini menunaikan shalat kemana saja wajah menghadap. Dalilnya firman Allat Ta’ala فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ البقرة/239 . “Jika kamu dalam keadaan takut bahaya, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah shalatlah, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” QS. Al-Baqarah 239. Firman-Nya فَإِنْ خِفْتُمْ” Jika kamu dalam keadaan takut bahaya” umum mencakup semua jenis ketakutan. Dan firman-Nya “Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah shalatlah, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” Menunjukkan bahwa zikir apapun yang ditinggalkan seseorang karena ketakutan, maka hal itu tidak mengapa. Diantara hal itu adalah menghadap kiblat. Menunjukkan juga dari dua ayat mulia tadi dan hadits nabawi bahwa kewajiban tergantung dari kemampuan. Permasalahan ketiga shalat sunah dalam safar baik di atas kapal terbang atau mobil atau di atas unta. Maka dia shalat kemana saja wajahnya menghadap dalam shalat sunah seperti witir, dzuha dan semisal itu. Orang musafir hendaknya menunaikan semua shalat sunah seperti benar-benar orang mukim kecuali sunah rowatib seperti rawatib Zuhur, magrib, Isya’. Yang sesuai sunah adalah meninggalkannya. Kalau ingin menunaikan shalat sunah sementara dia dalam kondisi safar, maka hendaknya dia menunaikan sunah dimana saja menghadap wajahnya. Hal itu yang telah ada ketetapan dalam Shohehahin dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Inilah tiga permasalahan tidak diwajibkan menghadap kiblat. Sementara yang tidak mengetahui maka dia wajib menghadap kiblat. Akan tetapi ketika dia berijtihad, dan mencari-cari kemudian ternyata dia salah setelah berijtihad, maka dia tidak perlu mengulanginya. Kita tidak mengatakan, “Dia gugur menghadap kiblat, bahkan dia wajib menghadap kiblat dan berusaha semampunya untuk mencarinya. Ketika berusaha mencari sesuai dengan kemampuannya kemudian ternyata salah, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Dalil akan hal itu adalah bahwa para shahabat yang tidak mengetahui perubahan kiblat ke Ka’bah, mereka shalat hari itu shalat Fajar di Masjid Quba’, kemudian ada seseorang datang seraya mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam telah diturunkan malam ini wahyu Qur’an. Dan diperintahkan untuk menghadap Ka’bah. Maka mereka mengahadapnya. Dahulu wajah mereka menghadap ke Syam, kemudian mereka berputar ke Ka’bah.’ HR. Bukhori, 403 dan Muslim, 526. Sebelumnya Ka’bah dibelakang mereka, dijadikan di depannya. Mereka berputar dan terus melanjutkan shalatnya. Ini terjadi pada masa Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Dan tidak ada pengingkaran, maka hal itu menjadi disyareatkan. Maksudnya kalau seseorang salah dalam kiblat karena tidak tahu, maka dia tidak perlu mengulanginya. Akan tetapi ketika mengetahui hal itu di sela-sela shalat, maka dia wajib menghadap kiblat. Maka menghadap kiblat termasuk salah satu syarat shalat tidak sah kecuali dengannya dalam tiga tempat. Kecuali kalau seseorang telah berijtihad dan berhati-hati.” Selesai Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 12/433-435. Wallahu a’lam .
renungan September 24, 2021September 23, 2021 1 Minute Mungkin kita pernah melihat sebagian orang yang sedang mengerjakan shalat terkadang memandang ke atas, tidak melihat ke tempat sujud. Padahal perbuatan tersebut telah dilarang oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengatakan لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ. “Hendaklah orang-orang benar-benar menyudahi mengangkat pandangan mereka ke atas langit ketika shalat, atau pandangan mereka tidak akan kembali kepada mereka.” HR. Muslim Anas bin Malik radhiyaAllahu anhu berkata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ. فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ. “Mengapa orang-orang itu mengangkat pandangan mereka ke langit ketika shalat.” Ucapan beliau sangat keras dalam masalah ini, sampai-sampai beliau mengatakan ”Hendaknya mereka benar-benar menyudahi hal itu atau pandangan mereka benar-benar akan disambar/diambil.” HR. al-Bukhari Hadits di atas merupakan ancaman keras bagi siapa saja yang mengangkat pandangan ke atas ketika shalat. Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa perbuatan tersebut dilarang. Maka itu, siapa dari kita yang masih mengerjakannya karena belum tahu hukumnya, hendaknya ia menyudahinya, tidak mengerjakannya lagi, atau kalau tidak …… . Wa na’udzu billah min dzalik. Adapun yang disunnahkan adalah memandang ke tempat sujud. Para sahabat berkata كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَى بِبَصَرِهِ نَحْوَ اْلأَرْضِ. “Adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dahulu apabila mengerjakan shalat beliau menundukan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke bumi bawah.” Hadis sahih riwayat al-Baihaqi dan al-Hakim Ibunda kita -kaum mukminin- Aisyah radhiyaAllahu anha bertutur لَمَّا دَخَلَ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُوْدِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا. “Ketika masuk ke Ka’bah, pandangan beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak berpindah dari tempat sujud hingga keluar darinya.” Hadis sahih riwayat al-Baihaqi dan al-Hakim Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk dapat mengerjakan shalat dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Aamiin, ya Rabb. ✅ Bagian Indonesia 🏠 DAMMAM KSA 📅 [ 04/06/1437 H ] ============================ Dipost Ustadz Muhammad Sulhan Jauhari, Lc, MHI -hafizhahullah- tgl 15 Maret 2016 Telah Terbit September 24, 2021September 23, 2021 Navigasi pos
JAKARTA - Shalat merupakan perintah Allah SWT. Lihat QS Al-Baqarah [2] 55, 110, 177, 277, An-Nisaa [4]103, 162, Al-Maidah [5]12, Al-An’am [6]72, 92, Al-A’raf [7]29, Al-Anfal [8]3, At-Taubah [9]11, 18, 71, Ar-ra’du [13]22, Ibrahim [14]31, 37, 40, Thaha [20]132, Al-Hajj [22] 78, Al-Ahzab [33]33, dan banyak lagi lainnya. Tujuannya adalah mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. QS Al-Ankabut [29] 45. Sehingga terbentuk pribadi yang muttaqin QS Al-Baqarah [2] 2-5, yang khusyuk QS Al-Mu’minun [23] 1-2, tawadlu, dan lain sebagainya. Shalat adalah mi’raj-nya seorang Muslim. Shalat merupakan cara seorang Muslim untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Karena itu, setiap melaksanakan shalat, seorang Muslim diperintahkan untuk senantiasa menyucikan diri, baik lahir maupun batin. Karena shalat merupakan cara Muslim menghadap Allah, maka sudah sepantasnya bila dalam kegiatan shalat terbetik pikiran selain hanya berkonsentrasi menghadap Allah. Pertanyaannya, bolehkah bergerak-gerak dalam shalat, yang tentu saja gerakan itu bukan gerakan shalat? Misalnya, menggaruk kukur-kukur Jawa, merapikan pakaian, memukul nyamuk, dan lain sebagainya. Para ulama sepakat, tidak sah shalat seorang Muslim apabila dalam hatinya terdapat maksud selain Allah. Misalnya memikirkan pekerjaan, makanan, keluarga, dan lainnya. Sedangkan dalam hal bergerak-gerak dalam shalat, para ulama juga menyepakati, bahwa tidak sah shalat seorang Muslim yang bergerak-gerak dalam shalat, apalagi gerakan itu bukan pekerjaan shalat, seperti sujud, rukuk, tahiyyat, i’tidal, dan lainnya. Bila ini dilakukan, maka batallah shalatnya. Termasuk dalam hal ini adalah menolehkan kepala atau pandangannya secara sengaja. Perbuatan itu adalah barang rampasan yang dirampas setan dari shalat seorang hamba. HR Bukhari. Beberapa perbuatan yang dianggap membatalkan shalat itu antara lain, berbicara secara sengaja, tertawa terbahak-bahak, makan dan minum secara sengaja, melakukan terlalu banyak gerakan. Tidak menghadap kiblat secara sengaja, batalnya wudlu, mengingat-ingat shalat yang belum dikerjakan, terbukanya aurat, serta tidak tuma’ninah pada saat rukuk, sujud, maupun duduk tahiyyat. Namun demikian, ada sebagian ulama yang menyatakan makruh bergerak dalam shalat, selama gerakan itu tidak merusak rukun shalat. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai gerakan tersebut, dan berapa jumlah maksimal gerakan lain di luar gerakan shalat. Imam Syafii menyatakan, banyak bergerak dalam shalat maka hukumnya batal. Demikian juga dengan pendapat Imam Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Perbuatan gerak yang membatalkan shalat itu menurut kesepakatan pada ulama mazhab ini, apabila perbuatan gerak tersebut diluar gerakan shalat. Menurut mereka, dalam shalat setiap Muslim diperintahkan agar khusyuk, sebagaimana terdapat dalam surah al-Mu’minun [23] ayat 1-2. Beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalatnya. Syekh Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi dalam kitabnya Tafsir al-Khazin, juz V, halaman 32 menyatakan, khusyuk dalam shalat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan semua yang diucapkannya, baik berupa bacaan Alquran ataupun zikir. Dan perbuatan menggerak-gerakkan anggota badannya, dianggap merupakan perbuatan di luar gerakan shalat. Dan perbuatan itu dapat merusak ibadah shalat. Imam Nawawi berpendapat, sebagaimana dinukil oleh Sayyid Sabiq didalam kitabnya Fiqhus Sunnah, Perbuatan yang tidak termasuk dalam pekerjaan shalat jika ia menimbulkan banyak gerak itu membatalkan, tetapi jika hanya menimbulkan sedikit gerak, itu tidaklah membatalkan. Seluruh ulama sepakat dalam hal ini, tetapi dalam menentukan ukuran yang banyak atau gerak yang sedikit terdapat empat pendapat. Imam Nawawi menambahkan, Sahabat sepakat bahwa bergerak banyak yang membatalkan itu ialah jika berturut-turut. Jadi, jika gerakannya berselang-seling, tidaklah membatalkan shalat, seperti melangkah kemudian berhenti sebentar, lalu melangkah lagi selangkah atau dua langkah, yakni secara terpisah-pisah. Adapun gerakan ringan seperti menggerakkan jari untuk menghitung tasbih atau disebabkan gatal dan lainnya, hal itu tidaklah membatalkan shalat walaupun dilakukan secara berturut-turut, namun hukumnya makruh. Fiqhus Sunnah. Janganlah mengusap kerikil ketika sedang shalat, tapi jika kalian terpaksa melakukannya, maka cukuplah dengan meratakannya saja. HR Bukari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, nasai, Ibnu Majah, dan Abu Dawud. Namun, para ulama mengembalikan masalah gerakan ini pada kebiasaan yang lazim. Menurut mereka, batal atau tidaknya gerakan—yang bukan gerakan shalat—sebanyak tiga kali di dalam shalat dikembalikan kepada kebiasaan yang lazim. Jika memang kebiasaan masyarakat setempat menganggap bahwa tiga kali gerakan adalah tidak termasuk dalam banyak gerakan, maka diperbolehkan. Dan jika masyarakat menganggap sebaliknya, maka batallah shalatnya. Karena itu, berhati-hatilah dalam melaksanakan shalat, terutama pada perbuatan yang merupakan bukan gerakan shalat, seperti menggaruk, merapikan pakai, mengusap debu, dan lain sebagainya. Umat Islam diperintahkan untuk khuyuk dan meminimalkan gerakan di luar gerakan shalat, demi kehati-hatian. Wallahu A’lam. Tabel Pendapat Ulama Syafii Makruh, maksimal tiga kali gerakan, dan tidak dilakukan secara berurutan. Maliki Makruh menggerakkan anggota badan selain gerakan shalat Hanafi Makruh menggerakkan anggota badan selain gerakan shalat Hanbali Membatalkan shalat
Skip to content Ketika shalat dimakruhkan memalingkan muka tanpa hajat. Ada pendapat yang mengatakan haram, bahkan terpilih pendapat yang haram ini berdasarkan hadis sahih, “Allah selalu menghadap kepada hamba-Nya ketika ia shalat, yakni dengan rahmat dan rida-Nya selama ia tidak berpaling. Apabila ia berpaling, maka Allah akan berpaling pula darinya.” Sabda Nabi saw atas pertanyaan Siti Aisyah tentang hal berpaling ketika shalat, “Dia adalah pencopet. Setan mencopet shalat seseorang”. Tidak makruh menoleh apabila ada hajat, demikian pula melirikkan mata. Sebagaimana waktu Nabi saw dalam perjalanan, beliau mengutus seorang prajurit berkuda di sebuah jalan di bawah bukit untuk menjaga, lalu beliau shalat, dan ketika shalat itu beliau menoleh ke arah jalan. Ali bin Syaibani menceritakan bahwa ia pernah menghadap Nabi saw, lalu beliau menoleh dengan ujung matanya kepada seorang laki-laki yang menegakkan tulang punggungnya dalam rukuk dan sujudnya, lalu sabdanya, “Tidak berarti salat orang yang tidak menegakkan tulang punggungnya.”Riwayat Ibnu Hibban. Makruh melihat ke langit menengadah dan melihat setiap perkara yang dapat membimbangkan shalat, misalnya pakaian yang bercorak, berdasarkan hadis Bukhari, “Bagaimanakah perbuatan suatu kaum yang matanya mamandang ke langit ketika shalat?” dalam hal ini Nabi saw mengeluarkan kata-kata keras, “”Mereka harus menyudahi perbuatan itu, atau matanya akan disambar.” Adapun melihat ke atas ketika berdoa, diperbolehkan, sebab langit itu adalah kiblatnya doa; seperti halnya Ka’bah, kiblatnya shalat.
menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang hukumnya